30 Oktober 2008

Eropa dalam layar (bag. 2)

Hari ini saya ke kampus. Kuliah cuman satu, dosennya ga dateng. Sampe kampus cuman ngobrol ngalor ngidul ngetan ngulon. Tadi saya mo beli majalah RollingStone yang edisi khusus di kios majalah yang deket es pocong. Di situ harga majalah lebih murah 2000-4000. Kirain saya RollingStone harganya kayak biasa 35000. Pas udah ngambil, saya liat harganya. Taunya 55000. Jauh bngt bedanya. Terpaksa saya menunda niat saya.

Kemaren siang saya nonton Elegy sendirian di Blitz GI. Saya liat di Kompas kalo hari rabu Elegy harga tiketnya 20000. Jadi, lebih murah drpd nomat hari senin yg tiketnya 25000. Di dalem bioskop yang nonton cuman enam orang termasuk saya.

Elegy ceritanya tentang David Keppesh, seorang profesor yang jg kritikus seni dan sastra di TV, radio, dan koran. Dia hidup sendirian, gonta-ganti pacar, dan anti sama komitmen. Walopun dia punya pasangan tetap yang seumuran ama dia, Carolyn, yang dateng cuman buat berhubungan badan. David kepincut sama salah satu mahasiswinya, Consuela Castillo, yang kecantikannya sungguh seperti sebuah mahakarya seni. Tapi, David tau aturan main. Consuela mulai dideketin waktu dia udah lulus kelasnya David. Jadilah hubungan beda umur 30 tahun ini berjalan. Dari cuman kencan nonton pentas teater sampe akhirnya kencan di atas ranjang. Teman David, George, udah ngasih peringatan sama David, "Beautiful women are invisible; we're so dazzled by the outside that we never make it inside." Sampai akhirnya cerita cinta ini berakhir tragis.

Ben Kingsley yang meraih piala Oscar di film Gandhi bermain baik sebagai Prof. David Keppesh yang posesif sekaligus anti komitmen di film ini. Sepanjang film kita disuguhi musik2 klasik untuk mengiringi kita melihat kisah cinta tidak pada tempatnya ini. Dan di akhir film kita diberi kejutan dengan apa yang terjadi dengan Consuela.

Selesai nonton Elegy jam setengah lima, terus langsung pulang. Jam 6 lewat 15 menit saya berangkat lagi ke Erasmus Huis di Kuningan bareng Febri dan seorang temannya buat nonton film yang judulnya Paris jam 19.30. Setelah berkutat dengan kemacetan Jakarta di jam pulang kantor dan harap2 cemas takut keabisan tiket, akhirnya nyampe juga di Erasmus Huis dan Alhamdulillah masih kebagian tiket. Di dalam teater, saya kebagian tempat duduk yang sungguh tidak enak sekali. Penglihatan saya ke layar teater kehalangan sama seorang berpostur tinggi dan juga berbadan besar yang duduk dua baris di depan saya. Sungguh2 mengganggu. Terpaksa saya harus menggerakkan kepala saya ke kanan kiri untuk liat teks terjemahan.

Film Paris nyeritain macam2 cerita tentang kehidupan di kota Paris. Ada penari teater yang kena penyakit jantung dan divonis akan mati ga lama lagi. Dia harus tetap tinggal di apartemennya, jadi kakaknya pindah ke apartemennya sama anak2nya buat ngurusin. Kakaknya ini tertarik sama seorang pedagang di pasar yang biasa dia datengin. Terus ada cerita seorang profesor sejarah yang suka ama mahasiswinya. Si profesor pun dapet nomor telpon si mahasisiwi dari membaca gerak bibir si mahasiswi waktu si mahasiswi memberitahu nomornya sama temannya. Si profesor ngirimin SMS kata2 romantis terus menerus ke si mahasiswi. Si mahasiswi tdk tau siapa yang ngirim SMS terus ke HPnya. Sampe akhirnya si profesor kepergok sama si mahasiswi. Dan masih ada beberapa cerita lainnya yang satu sama lain berhubungan membentuk bagian2 kehidupan kota Paris yang belom pernah kita lihat sebelumnya.

Film Paris bener2 film yang menakjubkan. Seru banget ngeliat cerita2 keseharian warga kota Paris di film ini. Selama ini kan kita taunya Paris itu kota yang indah, glamor, penuh cinta, kiblat fashion dunia, menara Eiffel, dll. Di film ini kita bisa liat kehidupan Paris yang lebih membumi dan manusiawi dari fragmen2 ceritanya. Drama di film ini ceritanya mengalir begitu saja dan bisa diikuti tanpa bosan. Dan, seperti film2 Prancis biasanya, selalu ada humor khas film Prancis di film ini yang berhamburan sepanjang film dan diselipkan dengan pas di sela2 cerita. Juga tidak lupa pula, pemandangan Paris dari atas gedung dan tempat2 indah di Paris ada dalam film ini. Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton.

Kalo penasaran ni saya kasih liat cuplikannya



Yah, itulah film2 yang yang saya totnton kemaren. Saya hanya nonton tiga film di Europe on Screen tahun ini. Setidaknya lebih baik daripada tahun laulu yang cuman satu film. Untuk yang akan datang, saya sangat menanti JIFFest 2008 di akhir tahun.

Udah dulu ah. Sampai ketemu lagi

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Jiffest kapan diadainnya ? ga sabar nih.. btw, nice reviews..jadi pengin nonton elegy juga nih.. =)

Anonim mengatakan...

nice review!!! gue jadi pengen nonton PARIS nih kayaknya bagus.. sekalian pengen nambah pengetahuan bahasanya juga... thanks atas reviewnya ya!