27 September 2008

Out-With


Kalo ngomongin buku, akhir2 ini buku yang lagi ramai digandrungi khalayak banyak mungkin adalah "Twilight" dan dan seri2 selanjutnya. Saya bisa bilang ini karena sering melihat buku ini banyak dibahas di blog2 orang, melihat beberapa orang di bis dan mikrolet yang sedang membaca buku itu, dan yang paling jelas adalah di toko2 buku di seantero ibukota, buku ini masuk dalam daftar penjualan terlaris. Selain itu, Twilight juga akan dibuat filmnya, sehingga membuat banyak orang semakin penasaran seperti apa buku ini.


Tapi saya tidak akan membahas buku itu di tulisan ini. Saya punya buku yang ceritanya lebih menarik daripada sekadar cerita cinta2an antara vampir dan manusia. Buku yang akan saya bahas di sini berjudul "The Boy in the Striped Pyjamas", yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Anak Laki-laki Berpiama Garis-garis." (selanjutnya akan disebut The Boy).


Setelah tadi sahur, saya baru saja menyelesaikan membaca buku ini. The Boy bercerita tentang seorang anak berumur 9 tahun bernama Bruno yang tinggal di rumah yang besar (berlantai lima) di Berlin, Jerman. Satu hari dia harus pindah rumah karena ayahnya mendapat promosi jabatan dari the Fury dan dipindahtugaskan ke daerah terpencil. Di rumah barunya, ia merasa sangat tidak betah karena rumah barunya itu lebih kecil dari rumahnya di Berlin, jauh dari mana2, dan tidak ada orang yang bisa dijadikan teman oleh Bruno.

Namun ada sesuatu yang menarik perhatian Bruno. Dari jendela rumah barunya itu, Bruno bisa melihat di kejauhan ada pagar tinggi berduri yang di dalamnya ada banyak pondok2 kecil. Karena Bruno berjiwa penjelajah dan merasa penasaran, suatu hari dia keluar dari rumahnya dan mencari tahu ttg pagar berduri tsb. Ketika dia sampai pada pagar tsb, dia menemukan seorang anak kecil yang yang memakai piama bergaris-garis. Sedang duduk di dalam pagar itu. Bruno berkenalan dgn anak bernama Shmuel itu dan sejak itu pun Bruno bersahabat dengan dia.

Saya merasa gemas dengan kepolosan pemikiran dan sikap Bruno yang terdapat di sepanjang buku ini. Cerita dalam buku berjalan maju-mundur dan tidak akan membuat kita bosan dengan narasi panjang, karena memang buku ini tidak tebal. Terjemahannya pun enak dibaca dan tidak akan membuat kita merasa aneh dengan rangkaian katanya. The Boy didukung dengan cerita yang kuat dan porsi setiap karakter juga tepat dan berimbang, namun tetap berpusat pada karakter Bruno. Bagi orang yang nenyukai akhir yang bahagia, mungkin akan mengumpat dalam hati jika mengetahui akhir dari cerita buku ini. Akhir ceruta buku ini sukses membuat saya merasa miris walupun tidak sampai sedih.

Yang lebih menyenangkan lagi, setelah saya liat2 di google ternyata buku ini sudah difilmkan dan sudah beredar di bebrapa negara. Sungguh menyenangkan. Penasaran filmnya kayak apa. kayanya ga bakalan msk bioskop Indonesia film kaya begini, jadi ntar cari aja DVD bajakannya.



Oh, iya. Judul dari posting ini adalah cara Bruno mengucapkan Auschwitz dan the Fury adalah cara Bruno mengucapkan der Fuhrer. Jadi tau kan latar belakang ceritanya tentang apa?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mo sbnrnya lo tau bnyk hal.tp sygnya kurang lo komunikasikan dgn org lain mo.jgn terus2an jd pnyendiri mo. sayang. SEMANGAT!